Laman

Kamis, 31 Maret 2011

Karakter Generasi Muda Indonesia Kini

Hasil jajak pendapat menggarisbawahi kecenderungan umum bahwa generasi muda Indonesia kurang peduli terhadap persoalan lingkungan sosialnya, berpikir dengan durasi pendek dan lingkup sempit. Berpikir pragmatis, bedakan dengan berpikir praktis, menjadi cara kerja dan muara berpolitik. Uang menjadi segala-galanya. Sebab dan akibat:

Berpolitik dalam versi Aristotelian sebagai seni meraih dan menyelenggarakan kekuasaan untuk kemaslahatan umum dicampakkan. Pragmatisme terjerembab dalam sisi ekstrem yang negatif.
Pendidikan kewargaan pun mengalami krisis. Pendidikan karakter atau rasa memiliki terhadap masa depan negara, bahkan kaderisasi lewat partai politik, tidak jalan. Kaderisasi kepemimpinan, di ranah politik, terutama di partai politik, macet. Ada era kaderisasi terselenggara di kampus. Kemudian dilarang. Kaderisasi diserahkan kepada partai politik. Yang terjadi, kalaupun ada hasil, hasilnya tanggung.
Merunut usia pelaku di balik tonggak-tonggak kebangkitan nasional, termasuk Sumpah Pemuda 81 tahun lalu, mereka memang bukan anak-anak usia sekolah menengah. Aktivis gerakan Boedi Oetomo atau Perhimpunan Indonesia, misalnya, adalah mahasiswa sehingga Ben Anderson menyebut revolusi '45 itu itu revolusi pemuda.
Akan tetapi, sosok, bobot, dan motivasi mereka berbeda dengan sosok, bobot, dan motivasi politisi muda sekarang. Mempertimbangkan konteks waktu, tantangan yang dihadapi generasi muda barangkali lebih berat.
Yang dihadapi generasi muda sekarang bukan hanya feodalisme dan penjajah, tetapi sebuah reason state sebagai reduksi kemuliaan berpolitik. Yang dihadapi adalah reason of state Machiavellian, di mana kemaslahatan bersama sebagai kemuliaan berpolitik ditinggalkan.
Menempatkan kembali kemuliaan berpolitik sebagai nilai utama di satu pihak, dan kaderisasi pemimpin-pemimpin dengan kemuliaan berpolitik Aristotelian di lain pihak, merupakan keharusan.
Sejumlah aktivis organisasi kemahasiswaan menilai dunia politik kurang menjanjikan bagi kalangan muda sehingga minat mereka rendah terhadap politik. Namun, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng optimistis minat kalangan muda terhadap politik akan tumbuh seiring dengan konsolidasi partai politik yang kini tengah berbenah diri.
Meski demikian, optimisme itu dibayang-bayangi oleh berbagai pendapat penuh kritik dan pandangan agak pesimistis. Ketua Program Studi Doktor Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hamdi Muluk, misalnya, mengatakan, khusus di Indonesia, rendahnya minat generasi muda terhadap persoalan politik merupakan akibat tak adanya kepercayaan bahwa politik Indonesia sudah benar, bisa dipercaya, dan terbebas dari politik uang. Perilaku politisi juga dianggap masih jauh dari standar moral yang berlaku. Karena itu, politik masih dianggap sebagai dunia hitam.
Munculnya anggapan negatif tentang politik itu dinilai Hamdi sebagai kesalahan partai politik yang gagal dalam melakukan kaderisasi. Jika seseorang ingin berkiprah dalam politik, tidak ada jaminan bahwa karier mereka akan berjalan sesuai mekanisme yang ada. Sistem jenjang karier di partai politik tidak pernah jelas karena partai sering kali mengambil kader-kader di luar partai yang memiliki uang atau popularitas tinggi untuk menduduki jabatan politik di lembaga legislatif.
Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Arip Mustopha di Jakarta, kemarin, juga mengatakan, minat mahasiswa untuk berorganisasi, baik dalam organisasi kemahasiswaan di dalam maupun di luar kampus, cenderung menurun. Kondisi itu membuat mereka kesulitan mencari kader-kader baru. Akibatnya, jumlah kader baru HMI setiap tahun turun 10 persen sampai 20 persen.
Arip mengatakan, berorganisasi diidentikkan dengan berpolitik, sedangkan politik dicitrakan dengan kekuasaan, arogansi, korupsi, hingga kepentingan kelompok. Kondisi itulah yang membuat mahasiswa enggan berorganisasi.
Ketua Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Rendra Falentino menambahkan, mahasiswa sebenarnya masih memiliki perhatian terhadap peristiwa politik dan persoalan kebangsaan. Namun, akibat tekanan pendidikan dan pengaruh globalisasi yang menyebarkan budaya konsumtif, mereka tidak terlalu tertarik dengan dunia politik.
Baik Arip maupun Rendra menyatakan, penurunan jumlah kader itu umumnya terjadi di kampus-kampus perguruan tinggi negeri. Kondisi sebaliknya justru terjadi di perguruan tinggi swasta yang justru mengalami peningkatan jumlah peminat organisasi kemahasiswaan ekstrakampus tersebut.
Peneliti Lembaga Survei Indonesia, Burhanudin Muhtadi, mengatakan, fenomena semakin banyaknya pemuda yang apolitis itu terjadi bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia.
Semakin turunnya minat pemuda terhadap masalah politik merupakan lampu merah untuk demokrasi di Indonesia. Sejatinya, pemuda dibutuhkan untuk kaderisasi partai politik. Tanpa pemuda, partai politik akan dikuasai oleh kelompok tua. Akibatnya, kebijakan hanya ditentukan oleh elite partai politik sehingga cenderung oligarkis. Pemerintahan oligarki yang dijalankan oleh sekelompok orang tertentu akan mengancam demokrasi.

Sosial Kemasyarakatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar